Cerita lama
Maret, 5 2025
Handphoneku bergetar, terlihat notifikasi masuk. Bukan chat, pesan, melainkan email dari suatu perusahaan penerbitan buku. Aku heran mengapa ada email masuk dari perusahaan tersebut? yang bahkan aku sendiri tidak berlangganan dan tidak suka membaca sebuah buku. Aku terdiam cukup lama, berpikir 'apakah ini strategi penipuan terbaru lagi atau ada orang iseng yang mengirimku sebuah email?'
Saat aku ingin membuka email tersebut, tertera subjeknya adalah 'Cerita yang Belum Selesai' dari perusahaan penerbitan buku.
Isi Pesan Email:
Subjek: Cerita yang Belum Selesai
Kepada Hera,
Kami dari Penerbitan Lama tertarik dengan naskah yang Anda kirimkan kepada kami berjudul "Cerita yang Belum Selesai". Setelah meninjau tulisan Anda, kami yakin kisah ini memiliki potensi besar untuk diterbitkan.
Kami ingin mengundang Anda untuk mendiskusikan lebih lanjut tentang penerbitan buku ini. Jika Anda setuju, harap balas email ini dalam waktu tujuh hari ke depan. Kami akan mengatur jadwal pertemuan dan membahas langkah selanjutnya.
Terima kasih atas perhatian Anda. Kami sangat menantikan tanggapan Anda.
Email tersebut menunjukan pesan dari masa lalu. Aku terdiam, memikirkan cerita lama yang tak ingin aku reka ulang kembali. Apakah ada bagian yang aku lewatkan dalam hidupku? Hingga aku tidak tahu tentang sebuah naskah itu?
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari menuju lobby sembari menebak apa isi naskah itu, 'Cerita lama yang belum selesai' siapa pengirim sebenarnya? Dan bagaimana dia tahu namaku dan alamat emailku?
TIINNN!!
TIINNN!!
Suara klakson mobil terdengar begitu nyaring, hingga seseorang keluar dari mobil tersebut, menatapku penuh intimidasi.
"Hei, bung. Aku lihat sekarang bukan jam istirahat. Mengapa kamu berlari dari ruang kerja hingga lobby perusahaan?"
Aku menoleh, mendapati Xavier—teman sekaligus partner kerjaku, yang kini menjadi owner perusahaan startup ternama.
"Ah, ada email pemberitahuan tentang sebuah naskah. Ada seseorang yang mengirimku pesan dari masa lalu. Tolong beri aku izin ya, Xavier. Sepertinya aku akan membatalkan meeting dengan klien kita hari ini."
Xavier menaikkan alisnya. "Naskah? Naskah apa itu?"
"Kepo banget dah perasaan, kamu nggak ada kerjaaan kan. Tolong jadi sopirku ya hanya untuk hari ini."
Tanpa persetujuan darinya, aku masuk ke dalam mobilnya. Dia mengomel, meski akhirnya setuju dengan permintaanku. Mobil melaju menelusuri jalan besar, hingga tak terasa kami tiba di lobby perusahaan penerbitan buku.
"Capek, lama banget lagi kamu nyetirnya. Kamu boleh pulang eh makasih atas tumpangannya."
Xavier mengomel lagi namun ia memilih keluar dari mobil tersebut. "Aku kepo siapa pengirim naskah itu, dan jangan bilang makasih aku yakin itu cuma basa-basi."
"Bentar dulu deh, kamu ngapain ikut masuk?"
"Aku atasan kamu, kenapa aku nggak boleh masuk ke mitra kerja perusahaan ku sendiri?"
Sial. Aku baru sadar, perusahaan penerbitan ini adalah mitra kerja startup kami. Dan yang lebih sial, hari ini adalah jadwal meeting membahas strategi penjualan buku—yang seharusnya aku hadiri, tapi malah aku batalkan demi mencari tahu tentang naskah misterius dari masa lalu.
"Kamu membatalkan meeting dengan perusahaan ini hanya demi naskah dari perusahaan ini?! Klasik sekali," Xavier mengejekku.
Aku memilih mengabaikannya. Kami masuk ke ruangan meeting, di mana tim editorial sudah menunggu. Di meja, terdapat sebuah naskah yang terbungkus rapi dengan judul "Cerita yang Belum Selesai".
Aku membuka lembaran pertama, membaca kalimat demi kalimat yang terasa asing, namun juga familiar. Aku bukan penulisnya… tapi cerita ini tentang siapa? Yang lebih aneh lagi, cerita ini ditulis oleh seseorang dari sudut pandang orang ketiga.
Bab 1: Arti Bahagia
Aku masih ingat pertemuan pertama dengannya. Saat itu, bus sekolah penuh sesak, dan aku kebagian duduk di dekat jendela, seperti biasa. Aku lebih suka tempat itu karena bisa melihat dunia luar, meskipun aku jarang benar-benar menikmatinya. Tapi hari itu berbeda.
Dia naik di halte ketiga, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, dan matanya tampak kosong, seolah memikirkan sesuatu yang jauh. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam ekspresi wajahnya yang membuatku ingin bertanya, apa yang sedang kau pikirkan?
Namun, tentu saja, aku hanya diam.
Ia berdiri di lorong karena semua tempat duduk sudah penuh. Tak lama, bus sedikit berguncang saat melewati jalanan berlubang, dan tanpa sadar, tangannya mencengkeram sandaran kursiku.
“Duduklah di sini,” kataku, hampir tanpa berpikir.
Dia menoleh dengan tatapan terkejut, seolah tidak terbiasa dengan kebaikan spontan dari orang asing. Aku berdiri dan memberikan tempat dudukku. Awalnya dia ragu, tapi akhirnya duduk juga.
“Terima kasih,” ucapnya pelan.
Aku hanya mengangguk dan berdiri di dekatnya, memegang tiang bus. Kami tidak berbicara lagi setelah itu, tapi aku memperhatikan sesuatu. Bahkan setelah ia duduk, bahunya masih tegang, seperti sedang membawa beban berat yang tak terlihat.
Hari-hari berlalu, dan aku mulai sering melihatnya di bus yang sama, di jam yang sama. Awalnya, aku hanya mengamati dari kejauhan. Kadang-kadang dia membaca buku, kadang hanya memandang keluar jendela dengan ekspresi kosong.
Suatu hari, aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Apa yang kau pikirkan?”
Dia menatapku sebentar, lalu tersenyum samar. “Menurutmu, apa arti bahagia?”
Aku terdiam. Itu pertanyaan yang sulit.
“Apa bahagia itu saat kita mencapai sesuatu yang besar?” lanjutnya. “Atau saat kita dicintai? Atau ketika kita bebas dari semua tuntutan?”
Aku mengerutkan kening. “Kupikir… bahagia adalah saat kau merasa cukup dengan hidupmu.”
Dia tertawa kecil, tapi terdengar getir. “Cukup, ya? Bagaimana kalau aku tidak pernah merasa cukup? Bagaimana kalau setiap langkah yang kuambil terasa salah?”
Aku menatapnya. Di balik tawanya, ada kelelahan. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tertahan.
“Aku selalu berusaha menjadi seperti yang orang lain inginkan,” katanya pelan. “Orang tuaku, guru-guruku, teman-temanku… Mereka semua punya ekspektasi tentang siapa aku seharusnya. Kalau aku memenuhi itu semua, apakah aku akan bahagia?”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi aku tahu satu hal—bahagia seharusnya bukan tentang memenuhi harapan orang lain.
“Dan kalau aku tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan kebahagiaanku sendiri,” lanjutnya, “apakah itu berarti aku tidak pantas bahagia?”
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi saat itu, bus berhenti. Dia berdiri dan bersiap turun.
Sebelum melangkah pergi, ia menoleh padaku.
“Terima kasih,” katanya, seperti hari pertama kami bertemu.
Aku tidak tahu kenapa dia berterima kasih, tapi aku tahu, sejak hari itu, aku ingin mendengar lebih banyak tentang kisahnya. Tentang dia yang mencari arti bahagia dalam dunia yang terus memaksanya menjadi orang lain.
Dan mungkin… aku juga ingin menemukannya bersamanya.
Aku menutup naskah itu. Tanganku gemetar.
"Hera? Ada isi naskah itu? mengapa kamu seperti orang linglung?"
Xavier bingung dan aku lebih bingung.
Ini adalah pertemuan pertamaku dengannya. Tapi mengapa orang lain menuliskan kisah ini? Siapa sebenarnya penulis naskah ini?
Aku harus menemukan jawabannya.
BREAK DULU! LANJUT BELAJAR SEBENTAR! btw menurut kalian apa itu bahagia?
Comments
Post a Comment