Cerpen : Dia Tidak Sempurna, Tapi Dia Ada



Aku selalu melihatnya.

Dia bukan seseorang yang mudah ditemukan dalam keramaian. Dia lebih suka duduk di sudut kelas, menatap kosong ke luar jendela, seolah pikirannya sedang berada di tempat lain.

Aksa.

Aku tidak tahu banyak tentangnya, kecuali bahwa dia selalu diam. Saat guru memanggil namanya, suaranya terdengar ragu, bergetar seperti daun di tiupan angin. Beberapa anak menahan tawa, berbisik satu sama lain. Tapi dia tidak pernah marah. Dia hanya menunduk, seperti sudah terbiasa.

Aku tidak pernah mengerti, kenapa dunia begitu kejam pada seseorang yang bahkan tidak mencoba melawan?

Lalu, suatu hari aku menemukannya—bukan Aksa, tapi bagian kecil dari dirinya.

Sepasang kertas kusut tertinggal di meja taman sekolah. Aku membacanya, dan hatiku bergetar lebih dari suara Aksa saat ia berbicara. Kata-katanya begitu dalam, seolah ia menumpahkan setiap ketakutan, setiap luka, setiap bagian dirinya yang tidak bisa ia katakan dengan lantang.

"Aku ada. Mungkin aku tidak sekuat mereka, tidak secerdas mereka, tidak selihai mereka berbicara. Tapi aku ada. Dan apakah itu cukup?"

Keesokan harinya, aku memberanikan diri untuk mendekatinya.

"Aksa," panggilku pelan.

Dia menoleh, tampak terkejut. Aku menunjukkan kertas itu. "Ini milikmu, kan?"

Matanya melebar. "Di mana kamu menemukannya?"

"Di taman. Puisimu… luar biasa."

Dia tertawa kecil, tapi tidak seperti seseorang yang senang dipuji. Lebih seperti seseorang yang tidak percaya bahwa dirinya pantas mendapatkannya. "Itu bukan puisi. Itu hanya... suara yang tidak bisa keluar."

Aku menatapnya. "Kalau begitu, biarkan suaramu keluar dengan caramu. Minggu depan sekolah mengadakan acara sastra sekolah, karyamu sangat indah. Amat disayangkan jika disembunyikan."

Aksa terkejut—tidak pernah ada yang mengapresiasi dirinya seperti itu sebelumnya. Tapi ia masih ragu. “Aku tidak sempurna,” katanya, “bagaimana mungkin aku bisa melakukan sesuatu yang berarti?”

Aku tersenyum sembari menyodorkan kertas miliknya, “Kesempurnaan itu ilusi, Aksa. Bahkan retakan kecil di kaca pun bisa memantulkan cahaya dengan indah. Dan puisimu... puisimu adalah cahaya itu.”

"Bagaimana jika aku gagal? Aku terlalu takut untuk mencobanya, Senja."

Suara itu masih sama. Terdengar ragu dan tidak ada secuil pun keberanian. Aku menghembuskan nafas berat, "Aksa, bagaimana kamu tahu kalo kamu akan gagal? Yang bahkan kamu saja belum memulainya? Aku disini sebagai sahabat yang terus mendukungmu. Oh ayolah, dunia tidak akan runtuh jika kamu berubah untuk lebih berani."

Aksa pergi dari hadapanku.Aku termangu diam melihatnya pergi, merasa bersalah. Apakah bicaraku terlalu keras untuknya? Jika saja ia punya secuil keberanian untuk berubah, dia mungkin akan lebih baik. 

Aku menatap buku yang aku bawa, menghembuskan nafas pasrah. "Motivasi terbesar adalah dari diri sendiri, aku hanya perantara. Percuma jika aku koar-koar agar ia sadar jika dirinya saja tidak ingin berubah."

Namun sejak hari itu, aku melihat sedikit perubahan dalam dirinya. Sedikit. Tapi tak apa, aku menyukainya meski aku melihatnya sendiri masih ragu. Apakah ucapanku tempo hari masih tidak bisa menyadarkannya? Jika kataku tidak bisa merubahnya, aku akan selalu berteriak agar ia sadar. Bahwa perubahan itu penting. Tapi melihatnya sekali lagi aku sedikit yakin, meski...

Dia masih diam, masih menyendiri, tapi kini tangannya lebih sering menulis. Kadang-kadang, aku melihatnya tersenyum kecil saat membaca puisinya sendiri. Lalu, hari itu tiba, dia melakukan sesuatu yang bahkan aku tidak berani membayangkan:

Dia berdiri di atas panggung acara sastra sekolah.

Aku duduk di barisan depan, jantungku ikut berdebar seiring napas Aksa yang terdengar dari mikrofon. Tangannya sedikit gemetar, tapi dia menggenggam kertasnya erat.

Dan ketika dia mulai membaca, dunia seakan terhenti.

Suaranya masih bergetar, tapi setiap kata yang ia ucapkan meresap ke dalam hati. Ia berbicara tentang ketidaksempurnaan, tentang rasa takut, tentang keberadaan yang tak selalu diakui tapi tetap nyata.

Tentang dirinya.

Ketika ia selesai, ruangan hening sejenak sebelum akhirnya meledak dalam tepuk tangan. Aku bisa melihatnya mengangkat kepala sedikit lebih tinggi, matanya berbinar dalam cara yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

"Terima kasih aku ucapkan kepada Senja. Seseorang sahabat yang mengajarkan aku arti keberanian dan kesempurnaan, karenanya aku bisa berdiri dihadapan hadirin sekalian dengan segenap keberanian. Dan pesan dari puisi yang telah kubacakan adalah kamu tak perlu sempurna untuk terlihat ada. Kamu lebih cukup dari itu. Saya Aksa, sekian terimakasih." 

Aksa mungkin tidak sempurna. Tapi dia ada. Dan itu sudah lebih dari cukup.


_______________________

Dari kisah singkat itu, kita bisa mengambil kesimpulan penting: Kamu tak perlu sempurna untuk terlihat ada. You're enough. Kamu lebih dari cukup. Dan itu lebih dari apa pun.



Comments

Popular posts from this blog

Tentang Rindu

Bruno, lagumu seindah seseorang yang aku kagumi

Paradigma Inovasi dan Peran Teknologi